Review Film The Breakfast Club. Gejolak Masa Remaja Tahun 80-an!

The breakfast club

The Breakfast Club merupakan salah satu film remaja produksi Amerika Serikat yang paling ikonik di tahun 80-an. Film karya sutradara John Hughes ini mengusung genre drama komedi. Menceritakan tentang lima orang murid yang disatukan oleh sebuah sesi hukuman dari sekolah meskipun latar belakang mereka berbeda.  The Breakfast Club masuk dalam jajaran film terbaik dalam satu dekade menurut banyak media besar Amerika.

The Breakfast Club masih menjadi materi yang diselipkan ke berbagai serial maupun film sebagai parodi, misalnya pada serial Community Season pertama, animasi Cartoon Network, Regular Show, dan masih banyak lagi.

Berawal dari lima siswa SMA yaitu John Bender, Claire Standish, Andrew Clark, Brian Johnson, dan Allison Reynolds, harus menjalani hukuman pada hari libur sekolah. Kelimanya dikumpulkan dalam ruangan perpustakaan dengan larangan berbicara satu sama lain, dilarang meninggalkan kursi, dilarang tertidur, dan hukuman esai dari guru. Mereka menghabiskan waktu seharian di perpustakaan sekolah di bawah pengawasan Wakil Kepala Sekolah, Bapak Vernon.

Ulasan The Breakfast Club

Berikut Ulasan Film The Breakfast Club yang menceritakan gelojak masa remaja tahun 80-an:

1. Setiap Karakter Mewakili Stereotip Remaja

The Breakfast Club memunculkan lima karakter yang berbeda. Sifat dan latar belakang masing-masing tidak sama, misalnya ada John atau ‘the criminal’ dengan perilakunya yang berandalan membuat tak heran ia harus menjalani hukuman.

Lalu ada Claire atau ‘the princes’, merupakan siswi cantik dan populer di sekolah. Ada pula Andrew atau ‘the athlete’ merupakan siswa berprestasi dibidang olahraga gulat. Selanjutnya ada Brain dengan julukan ‘the brain’ karena sifat si kutu bukunya. Terakhir adalah Allison, atau ‘the basket case’ yaitu gadis aneh yang tidak punya teman.

Tidak sama dengan kebanyakan cerita lainnya yaitu peran antagonis yang harus dibenci atau protagonis untuk dibela. Ternyata John punya alasan sendiri mengapa ia bandel dan suka memberontak. Begitu juga dengan Andrew dan Claire yang populer, sebenarnya mereka tidak selalu menyebalkan dan hanya bisa merundung siswa lainnya. Di sini kamu akan melihat sisi lain setiap karakter.

2. Screenplay yang Sederhana, Apa Adanya Namun Bermakna

Disajikan dengan alur yang cukup santai, namun bisa dipastikan tidak akan membuat bosan siapapun yang menonton. Dialog yang ditulis oleh John Hughes adalah dialog natural dan tidak cheesy.

Berawal dari siswa yang sebelumnya tidak pernah bersinggungan lalu dipersatukan dengan adanya hukuman, interaksi yang dibangun secara bertahap dan dalam porsi yang pas. Untuk pemanis, diselipkan sedikit sentuhan romansa.

Selain itu, agar tidak membosankan ada juga adegan-adegan tertentu yang meningkatkan adrenalin. Karena film ini adalah drama remaja, harus ada gejolak yang menggambarkan dunia remaja yang dramatis dan masih dalam fase pemberontakan. Jika kamu senang film yang santai namun berdialog padat, juga mengandung nilai kehidupan, ini akan cocok untuk kamu.

3. Visual Khas Gaya 80-an

Film drama ini berhasil mendeskripsikan nuasa remaja 80-an setiap framenya. Dengan memilih latar gedung sekolah Amerika yang khas, film ini akan menimbulkan perasaan nostalgia bagi penonton.

Melalui desain wardrobenya, setiap pemeran memiliki penokohan yang tegas. Setiap karakter tampil dengan pakaian dengan warna berbeda yang kontras satu dengan yang lain.

Pemilihan palette warna pada setiap frame tampak eye candy meski tidak mengaplikasikan sinematografi yang menakjubkan. Didukung karakter-karakter yang kuat, baik dalam eksekusi watak hingga penampilan karakter.

4. Lingkungan Mempengaruhi Tumbuh Kembang Remaja

Emosi yang masih labil, pencarian jati diri dan pengakuan, itulah ciri khas masa remaja. Dalam film ini bisa melihat bahwa setiap remaja memiliki gejolak, emosi, dan masalah yang sama.

Meskipun berasal dari latar belakang berbeda, entah yang sepanjang hidupnya selalu diperhatikan ataupun diacuhkan, masa remaja pasti memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Di sini peran orang tua dan staf pendidik sangat dibutuhkan karena berpengaruh pada tumbuh kembang mereka.

Pesan seperti ini sebenarnya isu umum yang sudah sewajarnya dipahami oleh setiap orang tua. Tapi karena merasa lebih banyak umurnya, orang tua kerap kali selalu merasa benar tanpa melihat dari sisi anak. Apalagi pada remaja yang melakukan pemberontakan, banyak pihak yang meilihat ini hanya dari satu sisi.  Di film The Breakfast Club, sedikit banyak akan memberikan solusi agar hal tersebut tidak lagi diabaikan.

Demikian ulasan film The Breakfast Club yang pernah menjadi trendsetter pada masanya. Mengangkat peristiwa yang terjadi pada masa lalu dimana orang tua yang selalu memaksa anaknya untuk menjadi apa yang mereka inginkan, pihak sekolah yang kerap membeda-bedakan status, juga persoalan-persoalan remaja saat itu.

Film ini bertujuan membuat penonton merasakan emosi serta paham pesan yang ingin disampaikan. Cocok untuk kamu para orang tua ataupun remaja yang sedang belajar memahami arti kedewasaan. Karena usia lebih tua belum tentu lebih dewasa. Selamat menonton!